Kamis, 13 Agustus 2009

Hutan Gambut



Tahun 1997, kebakaran besar melanda hutan Indonesia. Asap menyelimuti kota-kota di Sumatera dan Kalimantan bahkan sampai ke Singapura dan Malaysia. Pada tahun itu pula terjadi peningkatan tertinggi emisi CO2 di atmosfer. Terlepasnya karbon antara 810-2.470 juta ton diduga merupakan penyebabnya. Sebagian besar karbon tersebut berasal dari hutan gambut yang terbakar. Beberapa tahun belakangan ini, seiring dengan terjadinya pemanasan global, fungsi hutan sebagai penyimpan karbon mulai mencuat ke permukaan. Fungsi ini berkaitan dengan kemampuan hutan menyerap CO2 dari udara, untuk kemudian disimpan dalam akar, batang, dahan dan ranting. Di antara berbagai jenis hutan, hutan gambut dikenal sebagai penyimpan karbon terbesar. Sebagian besar tanah tempat hutan gambut terdiri dari materi organik berupa tumbuhan yang telah mati. Selama ratusan atau ribuan tahun materi ini terakumulasi, membentuk timbunan dengan kedalaman sampai mencapai 15 meter. Hal ini disebabkan, air yang selalu menggenangi tempat ini membuat materi organik jenuh terhadap air sehingga memperlambat proses pembusukan oleh mikroorganisme. Tidak mengherankan jika dalam satu hektare tanah gambut terkandung ratusan ton karbon.

Wilayah Asia Tenggara memiliki areal gambut sekitar 25 juta hektare atau 69% dari lahan gambut tropis di dunia. Sekitar 90% atau lebih dari 20 juta hektare dari lahan tersebut terdapat di Indonesia terutama di Sumatera dan di Kalimantan. Propinsi Riau misalnya mempunyai 4 juta hektare hutan gambut, dengan kedalaman ada yang mencapai 16 meter, dan menyimpan 14,6 milyar ton karbon. Selain sebagai penyimpan karbon, hutan gambut mempunyai peran sangat penting dalam mengatur air di dalam dan di permukaan tanah. Sifatnya yang seperti spons, membuat gambut dapat menyerap air berlebih, kemudian secara kontinu dialirkan perlahan-lahan sepanjang tahun sehingga menghindari terjadinya banjir dan kekeringan. Hutan gambut juga merupakan tempat tinggal satwa terkenal di dunia, seperti orang utan dan beragam
jenis binatang dan tumbuhan lainnya seperti harimau, buaya, ikan arwana dan kayu ramin.

Namun, gelombang perusakan besar-besaran menimpa hutan gambut dalam 10 tahun terakhir ini. Manusia berusaha menaklukkan hutan dengan cara membuat kanal-kanal untuk mengeringkannya sehingga menyediakan akses untuk menebang pohon-pohonnya serta mengubah hutan gambut menjadi perkebunan kelapa sawit, hutan tanaman industri
dan lahan pertanian. Ketika lahan gambut mengering, maka sifat spons-nya akan hilang dan menjadi sangat mudah terbakar baik secara sengaja maupun tidak. Kebakaran di lahan gambut sangat sulit untuk dipadamkan karena api tidak hanya ada di permukaan melainkan juga menjalar di dalam tanah. Api yang ada di dalam tanah ini mampu bertahan lama sampai berbulan-bulan. Pembukaan dan pengeringan hutan gambut juga membuat bakteri pembusuk dapat bekerja lebih cepat, mendekomposisi tanah gambut dan akhirnya melepaskan CO2 ke udara.

Saat ini lebih dari 5 juta hektare hutan gambut di Indonesia mengalami kerusakan. Organisasi lingkungan Wetland International memperkirakan kerusakan hutan gambut di Indonesia dalam kurun waktu 1997-2006, menyebabkan terlepasnya 1,8 miliar ton karbon ke udara. Jumlah ini membuat Indonesia ”dinobatkan” sebagai negara penghasil emisi gas rumah kaca –pemicu perubahan iklim- terbesar ke tiga di dunia, setelah Amerika Serikat dan
Cina. Berbagai upaya untuk menyelamatkan dan melindungi hutan gambut kini mulai banyak dilakukan seperti menghentikan konversi menjadi lahan lain, melarang penggunaan api atau merehabilitasi dengan cara membendung kanal-kanal. Namun tekanan untuk mengkonversi tetap saja besar seiring dengan meningkatnya kebutuhan lahan untuk perkebunan kelapa sawit, akibat meningkatnya permintaan terhadap minyak sawit untuk biofuel

http://griya-asri.com Powered by signalinovasi.com Generated: 14 August, 2009, 13:03

illegal-loging-penyebab-terbesar-kerusakan-hutan-indonesia/


TEMPO Interaktif, Yogyakarta: Selama sepuluh tahun terakhir, laju kerusakan hutan di Indonesia mencapai dua juta hektar per tahun. Selain kebakaran hutan, penebangan liar (illegal loging) adalah penyebab terbesar kerusakan hutan itu. Demikian dikatakan Guru Besar Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada (UGM), Profesor Doktor Soekotjo, di Yogyakarta, Rabu (3/3).

“Selama 1985-1997, kerusakan hutan di Indonesia mencapai 22,46 juta hektar. Artinya, rata-rata mencapai 1,6 juta hektar per tahun,” kata Soekotjo. Ada empat faktor penyebab kerusakan hutan itu: penebangan yang berlebihan disertai pengawasan lapangan yang kurang, penebangan liar, kebakaran hutan dan alih fungsi hutan menjadi lahan pertanian atau pemukiman.

Menurut Soekotjo, kebakaran hutan terbesar yang pernah terjadi di Indonesia pada 1997, membuat hampir 70 persen hutan terbakar. Kerusakan hutan bertambah ketika penebangan liar marak terjadi. Penebangan liar telah merusak segalanya, mulai dari ekosistem hutan sampai perdagangan kayu hutan. Lantaran hanya dibebani ongkos tebang, tingginya penebangan liar juga membuat harga kayu rusak. Persaingan harga kemudian membuat banyak industri kayu resmi terpaksa gulung tikar.

Selain itu, lemahnya pengawasan lapangan penebangan resmi juga memberi andil tingginya laju kerusakan hutan di Indonesia. Padahal, kriteria Direktoran Kehutanan mengenai Tebang Pilih Indonesia (TPI) sebenarnya sudah cukup baik dan sesuai dengan kriteria pengelolaan hutan yang telah dirumuskan dalam berbagai pertemuan ahli hutan se-dunia. “Tapi di lapangan, kriteria itu tidak berjalan akibat lemahnya pengawasan,” kata Soekotjo.

Walau demikian, para ilmuwan di Fakultas Kehutanan UGM masih optimis, hutan di Indonesia bisa dipulihkan dalam waktu 40 tahun. Caranya? Teknik pemuliaan pohon, manipulasi lingkungan serta pengendalian hama dan penyakit bisa dilakukan untuk memulihkan kembali hutan di Indonesia. Penanaman hutan secara intensif menjadi pilihan terbaik karena bisa diprediksi. Sehingga, kebutuhan kayu bisa diperhitungkan tanpa harus merusak habitat hutan alam yang masih baik.

Memang, mempertahankan seluruh hutan di Indonesia tidak mungkin. “Tapi paling tidak, 50 persen hutan alam di Indonesia harus tetap dijaga keasliannya. Sisanya, bisa diusahakan menjadi hutan tanaman industri,” kata Soekotjo. Menjaga 50 persen hutan alam itu berguna untuk keseimbangan ekosistem, mempertahankan genetik tanaman dan menjadi sumber tanaman obat serta sumber makanan. “Saat ini saja, UGM sudah menemukan tujuh tanaman hutan yang diperkirakan bisa menjadi bahan obat penyakit HIV,” kata Soekotjo.

Heru CN – Tempo News Room

Sabtu, 08 Agustus 2009

Seekor harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae). terkena jebakan warga


Seekor Harimau Sumatera Terkena Jerat Warga

MEDAN, KOMPAS.com — Warga Kecamatan Parmonangan, Kabupaten Tapanuli Utara, menjerat seekor harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae). Jebakan itu dibuat karena sebelumnya harimau berkeliaran di permukiman mereka. Sejumlah ternak babi milik warga tewas diserang harimau.

"Laporan ini kami terima pagi tadi, harimau masuk dalam jebakan warga. Sejauh ini tidak ada warga yang luka, hanya hewan ternak milik warga yang tewas," kata Kepala Samapta Polres Tapanuli Utara Ajun Komisaris Polisi M Peranginangin, Jumat (13/3), dihubungi dari Medan.

Peranginangin menuturkan kondisi harimau masih hidup. Lokasi jebakan harimau ini terbilang sulit. Dia mengatakan kawasan ini terletak sekitar 120 kilometer dari Tarutung, ibu kota Tapanuli Utara, atau 400 kilometer dari Medan. Menurut dia, kawasan ini berdekatan dengan kawasan hutan yang berbatasan dengan Tapanuli Tengah.

Rabu, 24 Juni 2009

Burung Puyuh Sumba Terancam Punah


Puyuh Sumba Terancam Punah

Minggu, 14 Oktober 2007 | 19:34 WIB

TEMPO Interaktif, SUMBA:
Peneliti dari Burung Indonesia, sebuah lembaga swadaya masyarakat, memperkirakan kini hanya terdapat 20 ekor burung, yang disebut juga gemak, itu di taman nasional yang luasnya 50.910 hektare tersebut.
"Rendahnya frekuensi pertemuan dengan gemak Sumba selama survei berlangsung menegaskan bahwa kini jenis itu hampir punah dan bahkan akan hilang dari dalam kawasan taman nasional," kata Hanom Bashari, peneliti Burung Indonesia, di Sumba pekan lalu.
Gemak sumba adalah salah satu dari delapan burung endemik Pulau Sumba. Burung itu lebih banyak menghabiskan waktu hidupnya di permukaan tanah, dalam perlindungan semak serta padang rumput yang datar dan terbuka.
Selain gemak Sumba, burung endemik lainnya adalah julang Sumba (Rhyticeros everetti), punai Sumba (Treron teysmannii), walik rawamanu (Ptilinopus dohertyi), sikatan Sumba (Ficedula harterti), burung madu Sumba (Nectarinia buettikoferi), dan punggok wengi (Ninox rudolfi).
Gemak Sumba, yang hidup di padang savana, merupakan pemakan bunga dan biji rerumputan. Perubahan habitat alami akibat pembukaan padang secara liar dengan pembakaran telah mengganggu ketersediaan pakan dan tempat berlindungnya.
Burung Indonesia melakukan survei di taman nasional itu dari April sampai September lalu. Selama survei ini, mereka menemukan 120 jenis burung endemik di Taman Nasional Manupeu Tanadaru.
Menurut Burung Indonesia, Taman Nasional adalah benteng terakhir habitat satwa liar di kawasan Sumba. Pasalnya, hutan pulau itu hanya tersisa 6,5 persen dan sebagian besar merupakan kawasan taman nasional. l DEDDY SINAGA.( image heri rv)



Lingkungan Rusak, Harimau ke Kampung
Kamis, 26 Februari 2009 | 09:51 WIB

PEKANBARU, KAMIS — Kematian tiga ekor harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) di Desa Tanjung Pasar Simpang, Kecamatan Pelangiran, Kabupaten Indragiri Hilir, Riau, dikecam beberapa organisasi pencinta lingkungan. Selain itu, kerusakan lingkungan juga diduga menjadi penyebab hewan langka itu masuk ke perkampungan penduduk.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Riau dan Yayasan Program Konservasi Harimau Sumatera (PKHS), Rabu (25/2), menyayangkan kematian hewan langka itu. Ketua Yayasan PKHS Bastoni di Pekanbaru menyatakan duka atas matinya tiga ekor harimau sumatera di Indragiri Hilir. ”Jika PHKS mendapat informasi ada harimau masuk kampung, kami pasti menurunkan tim untuk mencegah korban dari dua belah pihak,” katanya.

Seperti diberitakan, tiga harimau sumatera mati dijerat warga di Tanjung Pasar Simpang. Warga diduga balas dendam setelah satwa dilindungi itu memangsa ternak (Kompas, 25/2).

Berdasarkan keterangan salah seorang saksi mata, harimau yang terjerat ditemukan dalam kondisi hidup sebelum dibantai dengan tombak sampai mati.

Bastoni menyebutkan, fenomena masuknya harimau ke perkampungan penduduk di beberapa provinsi di Sumatera belakangan ini berhubungan dengan kerusakan lingkungan.

Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau Rachman Sidik mengungkapkan, pihaknya telah membentuk satu tim khusus untuk menyelidiki kematian tiga ekor harimau di Indragiri Hilir.

Enam tewas di Jambi

Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jambi dan WWF Indonesia, dalam keterangan persnya, Rabu, menyerukan pentingnya penghentian konversi hutan alam di provinsi itu sesegera mungkin demi keselamatan publik dan harimau sumatera. Itu perlu dilakukan menyusul tewasnya enam orang di Jambi akibat serangan hewan dilindungi itu satu bulan ini.

”Tiga orang yang tewas diterkam harimau akhir pekan lalu diduga pelaku illegal logging (penebangan liar),” kata Kepala BKSDA Jambi Didy Wurjanto.

BKSDA Jambi dan aparat setempat melakukan patroli penghentian aktivitas pembukaan hutan untuk mengantisipasi berlanjutnya serangan harimau sumatera terhadap warga.

Pemburu dibekuk

Sementara itu, di Padang, Kepala BKSDA Sumatera Barat Indra Arinal mengatakan, ada kemungkinan harimau remaja yang sampai ke permukiman penduduk di daerah itu karena kehilangan induk. Perburuan liar menjadi penyebab kematian harimau induk.

Di tengah fenomena kemunculan harimau di permukiman, seorang pemburu harimau, Sf, dua pekan lalu ditangkap polisi. Bersama Sf ditemukan satu kulit harimau serta sejumlah tulang-belulang. Diduga, kulit dan tulang itu siap dipasarkan ke pasar gelap di Riau. Sf mengakui pemburuan harimau dilakukan demi uang Rp 6 juta yang dijanjikan pembeli. (sah/art/mul),/kompas

STOP ILLEGAL LOGGING PLEASE

Rabu, 08 April 2009

Kerusakan Hutan di Kalimantan


Hutan Dihabisi, Banjir Makin Menjadi-jadi

/

Sabtu, 20 September 2008 | 07:20 WIB

Dalam tiga tahun terakhir sejak 2006, Pulau Kalimantan boleh dikatakan luput dari bencana besar kebakaran hutan dan lahan serta dampak serbuan kabut asap. Itu bukan karena tidak ada kegiatan pembakaran hutan atau lahan, melainkan selama itu pulau tersebut beruntung karena tidak dilanda kekeringan panjang.

Namun, bagi yang berdiam di pulau yang kaya sumber daya alam ini bukan berarti bebas dari bencana. Pulau Kalimantan yang seharusnya sejak Juli 2008 memasuki kemarau, bahkan puncaknya September ini, justru terjadi sebaliknya.

Hujan terjadi hampir setiap hari. Tak heran bila sebagian wilayah di Kalimantan justru terjadi banjir beberapa kali karena perubahan iklim ini. Parahnya, banjir yang terjadi tidak hanya di satu lokasi, tetapi terjadi di beberapa daerah pada setiap provinsi dan cenderung terus meluas. Genangan banjir pun tidak hanya berlangsung lama, tetapi juga dalam dan sebagian berarus deras.

Kepala Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Palangkaraya Hidayat mengungkapkan, iklim tahun ini di Kalimantan akan turun sepanjang tahun, termasuk pada bulan-bulan musim kemarau. Kondisi ini disebut kemarau basah.

Masalahnya, hujan lebat yang turun seperti bulan Agustus lalu dua kali lipat dari kondisi normal. ”Normalnya, pada bulan Agustus cuma 100-an milimeter per bulan. Sejauh ini malah sampai 200 milimeter,” katanya.

Karena kondisi itulah, Hidayat sebelumnya mengimbau agar daerah di sisi hilir juga mewaspadai banjir kiriman dari hulu. Peringatan itu ternyata benar-benar terbukti ketika selama dua minggu kemudian banjir kiriman dari hulu menerjang kecamatan-kecamatan hilir Sungai Katingan.

Berdasarkan data Dinas Kesejahteraan Sosial Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng), tercatat 19.814 keluarga di delapan kecamatan di Kabupaten Katingan terkena dampak banjir tersebut. Banjir juga menggenangi rumah milik 2.613 keluarga di empat kecamatan di Kabupaten Kotawaringin Timur.

Hampir bersamaan waktunya, banjir juga melanda Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel), Kalimantan Barat (Kalbar), dan Kalimantan Timur (Kaltim). Pada Agustus dan awal September ini, misalnya, tiga kabupaten penghasil pertambangan batu bara dan bijih besi di provinsi Kalsel, yakni Kabupaten Tanah Laut, Tanah Bumbu, dan Kota Baru, dilanda banjir besar. Banjir di sana tidak hanya merendam rumah penduduk, tetapi menewaskan empat warga yang terjebak banjir berarus deras.

Selain kerusakan jalan trans- Kalimantan pada ruas Banjarmasin-Batulicin semakin parah, Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Kalsel melaporkan sedikitnya lebih dari 1.000 hektar tanaman padi puso. Kerusakan tanaman padi seluas itu akibat banjir sejak Januari hingga September terjadi enam kali. Dari 13 kota/kabupaten, sebanyak 11 kabupaten hampir setiap tahun dilanda beberapa kali banjir. Tak heran bila Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana memasukkan Kalsel pada 11 provinsi di Indonesia yang rawan bencana.

Banjir tidak hanya menggenangi dataran rendah atau pinggiran sungai. Di Balikpapan, Kaltim, yang memiliki sebagian wilayah berbukit-bukit, misalnya, juga dilanda banjir. Banjir besar yang terjadi saat bersamaan dengan Penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional (PON) di Kaltim pada Juli lalu, misalnya, disertai longsor sehingga menewaskan dua anak akibat tertimpa reruntuhan rumah.

Di Kalbar, banjir terparah justru terjadi bulan September yang melanda tiga kabupaten, yakni Kapuas Hulu, Sintang, dan Melawi. Banjir yang paling parah, berdasarkan laporan, terjadi di Kabupaten Melawi karena merendam 10.000 rumah yang dihuni sekitar 50.000 warga. Sebagian dari mereka terisolasi selama sepekan akibat kepungan banjir.

Banjir di Kalimantan ternyata tidak hanya terjadi dalam beberapa bulan terakhir. Berdasarkan catatan Kompas, selama sembilan bulan dalam tahun 2008 hampir setiap bulan terjadi banjir. Hanya bulan Februari dan Mei yang tidak ada laporan banjir.

Kondisi ini membuktikan bahwa banjir di Kalimantan bukan sekadar besaran curah hujan lagi sebab kalau itu masalahnya, dari dulu orang di sini telah mengantisipasi dengan mendirikan rumah panggung. Yang terjadi justru ini adalah buah dari kerusakan alam semakin parah. Kondisi ini setidaknya diakui Gubernur Kalsel Rudy Ariffin saat rapat mitigasi bencana beberapa waktu lalu di Banjarmasin, Kalsel.

Kondisi kerusakan lingkungan yang paling masif adalah terus berlangsungnya pembabatan hutan. Pada Januari-Februari di Kalbar, misalnya, digemparkan dengan penangkapan 34.500 batang kayu log ilegal di Sungai Kapuas. Kayu-kayu itu diklaim hasil tebangan sekitar 800 warga Kabupaten Kapuas Hulu. Tangkapan kayu itu merupakan yang terbesar sekaligus melibatkan pelaku terbanyak dalam sejarah penangkapan pembalakan liar di Kalbar.

”Kami terpaksa menebang kayu di sekitar Sungai Kapuas untuk bertahan hidup setelah hampir sebulan pada Desember 2007 desa kami tergenang banjir hingga 4 meter. Gara-gara terendam banjir, ladang kami gagal panen, menoreh getah karet tidak bisa, mencari ikan juga sulit,” kata Jor (30), warga Kecamatan Embaloh, Kabupaten Kapuas Hulu, yang ditemui beberapa waktu lalu.

Pembabatan hutan secara ilegal tidak hanya dilakukan warga di Kabupaten Ketapang, Kalbar, tetapi juga melibatkan pejabat dinas kehutanan dan kepolisian setempat. Jaringan perdagangan pun tidak hanya untuk kebutuhan lokal, tetapi juga untuk penyelundupan kayu ke Malaysia.

Tebang pohon

Menebang pohon untuk bertahan hidup pada saat banjir sudah menjadi mekanisme bertahan hidup turun-temurun masyarakat yang bermukim di daerah aliran Sungai Kapuas. Semakin tinggi dan lama banjir itu merendam permukiman dan ladang penduduk, hampir dipastikan semakin banyak pula kayu yang ditebang.

Memanfaatkan banjir untuk memilirkan kayu-kayu itu tidak hanya dilakukan rakyat, tetapi juga perusahaan pemegang hak pengusahaan hutan (HPH). Cara ini ditempuh hampir di semua daerah aliran sungai (DAS) Kalimantan dan berlangsung puluhan tahun karena biayanya paling murah. Cara inilah yang dikenal banjir kap.

Semakin banyak kayu di DAS Kapuas yang ditebang, ini berarti semakin besar pula potensi banjir dengan frekuensi dan intensitas yang lebih banyak. Bencana banjir di Kalbar yang beberapa kali berlangsung dalam dua tahun terakhir ini setidaknya membuktikan hipotesis itu.

Dr Ir Gusti Zakaria Anshari MES, Ketua Pusat Penelitian Kehati dan Masyarakat Lahan Basah (PPKMLB) Universitas Tanjung Pura, Pontianak, sekaligus Ketua Forum DAS Kapuas, menilai, DAS Kapuas cukup mengkhawatirkan karena sumber daya hutan yang menjadi sumber tangkapan air juga sudah rusak. Pasalnya, selain pembabatan hutan, sekarang sebagian konversi lahan di DAS Kapuas menjadi perkebunan juga tidak direncanakan dan dilakukan dengan baik. Kondisi ini semakin parah dengan adanya penambangan emas tanpa izin (peti) di Sungai Kapuas.

”Sungai Kapuas sudah mengarah ke kondisi genting. Perlu penanganan serius agar jangan telanjur parah dan akan semakin sulit untuk mengobatinya,” kata Gusti.

Panjang Sungai Kapuas, kata Kepala Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Kapuas Suhartadi, sekitar 1.086 kilometer dan memiliki DAS 10,15 juta hektar. Sekitar 2,2 juta dari DAS itu termasuk kritis dan bahkan 607.253 hektar di antaranya dalam kondisi sangat kritis. DAS Kapuas yang tergolong agak kritis mencapai 4,24 juta hektar dan yang berpotensi kritis 2,89 juta hektar. ”Deforestasi, penambangan liar, serta perubahan fungsi lahan turut memengaruhi kekritisan DAS Kapuas,” kata Suhartadi.

Data Dinas Kehutanan Kalbar menunjukkan, dari total kawasan hutan di Kalbar yang mencapai 9,1 juta hektar, sekitar 2,1 juta hektar di antaranya tergolong lahan kritis. Di luar kawasan hutan, ada sekitar 3 juta hektar lahan yang kritis. Pada pertengahan tahun lalu, Masyarakat Perhutanan Indonesia Komda Kalbar sempat merilis, laju kerusakan hutan di Kalbar hampir 165.000 hektar per tahun atau 23 kali luas lapangan sepak bola per jam.

Jumlah kasus pembalakan liar di Kalbar yang turut mempercepat laju kerusakan hutan tergolong memprihatinkan. Dinas Kehutanan Kalbar mencatat, terdapat 406 kasus pembalakan liar di Kalbar dalam kurun waktu 2005-2007. Selain itu, kegiatan penambangan emas ilegal di pinggir-pinggir sungai di Kalbar juga cukup memprihatinkan. Data Dinas Pertambangan Kalbar tahun 2005 mencatat ada 1.480 peti yang melibatkan sekitar 10.093 penambang.

Keberadaan peti itu juga banyak memakai bahan kimia merkuri yang berpotensi mencemari sungai. Kerusakan lingkungan ini terus bertambah karena rehabilitasi lahan di Kalbar melalui program Gerakan Rehabilitasi Lahan dalam kurun waktu 2004-2006 sendiri baru 40.090 hektar.

DAS Kritis

Kondisi DAS yang sebagian kritis juga ada di 26 sungai besar lainnya di Kalbar. Tercatat dari 27 sungai di Kalbar yang memiliki DAS 14,86 juta hektar, sekitar 1,34 juta hektar pada kondisi sangat kritis, 2,1 juta hektar dalam kondisi kritis, 6,14 juta hektar dalam kondisi agak kritis, dan 3,73 juta hektar dalam kondisi potensial kritis.

”Jika kondisi ini tidak segera ditangani oleh berbagai pihak, bencana banjir yang lebih luas bisa menjadi ancaman serius bagi wilayah Kalbar,” kata Suhartadi.

Ironis lagi, di tengah parahnya kerusakan hutan Kalbar, ternyata masih ada sedikitnya 62 izin perkebunan kelapa sawit di Kalbar yang diterbitkan di kawasan hutan seluas 430.810 hektar. Jika persoalan tumpang tindih izin ini tidak ditangani serius, bukan mustahil banjir yang terjadi semakin meluas akibat konversi hutan tersebut.

Fakta kerusakan DAS yang paling parah juga terjadi di Kalsel. Meski daerah ini hanya tinggal satu HPH yang beroperasi, kerusakan hutan terus berlangsung akibat pembukaan lahan untuk pertambangan batu bara dan bijih besi berlangsung besar-besaran sejak tahun 80-an. Tak heran bila kawasan Pegunungan Meratus yang menjadi daerah sumber aliran utama sungai-sungai di Kalsel dipenuhi lubang-lubang tambang yang menganga. Ironisnya, sebagian besar yang sudah tidak ditambang lagi ditinggalkan tanpa reklamasi.

Semestinya, kata Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Kalsel Rakhmadi Kurdi, DAS yang baik itu minimal 30 persen berupa hutan utuh pada satu wilayah kabupaten.

Akan tetapi, fakta di Kalsel, hutan gundul sangat luas, lubang bekas tambang yang tidak direklamasi juga terus bertambah. Dampaknya, erosi pun semakin besar, sungai-sungai akhirnya mendangkal dan bisa dipastikan ketika banjir air meluap ke mana-mana bahkan berarus deras. ”Untuk mengatasi ini, kuncinya tidak hanya menghentikan pembabatan kayu dan pengendalian pembukaan tambang, yang lebih penting bagaimana semua pihak serius mengembalikan daerah-daerah yang mengalami kerusakan tersebut, termasuk lahan kritis menjadi hijau kembali. Jika tidak, bencana banjir semakin menjadi-jadi,” katanya.

Budi, warga Katingan, Kalteng, menambahkan, pihaknya meminta kepada pemerintah lokal agar dalam melakukan reboisasi hutan yang gundul di pedalaman melibatkan masyarakat. ”Jangan mereka diam saja dan hanya bisa mendirikan pos kesehatan dan kasih sedikit bantuan saat banjir tiba,” ujarnya./kompas.

kayu olahan yang di tinggalkan oleh perambah hutan (Kalbar)


Pembukaan jalan raya, di (kalbar)


Bekas penebangan hutan Manggrov di jadikan tambak (Kalbar)


Hutan manggrov di tebas akan di jadikan tambak (Kalbar)


Bekas tebangan yang di tinggal begitu saja (Kalbar)


Pencurian kayu oleh masyarakat sekita hutan (Kalbar)


Penebangan liar yang tidak bertanggung jawab (Kalbar)
koleksi foto heri rizha vahlevi.