Hutan Dihabisi, Banjir Makin Menjadi-jadi
Sabtu, 20 September 2008 | 07:20 WIB
Dalam tiga tahun terakhir sejak 2006, Pulau Kalimantan boleh dikatakan luput dari bencana besar kebakaran hutan dan lahan serta dampak serbuan kabut asap. Itu bukan karena tidak ada kegiatan pembakaran hutan atau lahan, melainkan selama itu pulau tersebut beruntung karena tidak dilanda kekeringan panjang.
Namun, bagi yang berdiam di pulau yang kaya sumber daya alam ini bukan berarti bebas dari bencana. Pulau Kalimantan yang seharusnya sejak Juli 2008 memasuki kemarau, bahkan puncaknya September ini, justru terjadi sebaliknya.
Hujan terjadi hampir setiap hari. Tak heran bila sebagian wilayah di Kalimantan justru terjadi banjir beberapa kali karena perubahan iklim ini. Parahnya, banjir yang terjadi tidak hanya di satu lokasi, tetapi terjadi di beberapa daerah pada setiap provinsi dan cenderung terus meluas. Genangan banjir pun tidak hanya berlangsung lama, tetapi juga dalam dan sebagian berarus deras.
Kepala Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Palangkaraya Hidayat mengungkapkan, iklim tahun ini di Kalimantan akan turun sepanjang tahun, termasuk pada bulan-bulan musim kemarau. Kondisi ini disebut kemarau basah.
Masalahnya, hujan lebat yang turun seperti bulan Agustus lalu dua kali lipat dari kondisi normal. ”Normalnya, pada bulan Agustus cuma 100-an milimeter per bulan. Sejauh ini malah sampai 200 milimeter,” katanya.
Karena kondisi itulah, Hidayat sebelumnya mengimbau agar daerah di sisi hilir juga mewaspadai banjir kiriman dari hulu. Peringatan itu ternyata benar-benar terbukti ketika selama dua minggu kemudian banjir kiriman dari hulu menerjang kecamatan-kecamatan hilir Sungai Katingan.
Berdasarkan data Dinas Kesejahteraan Sosial Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng), tercatat 19.814 keluarga di delapan kecamatan di Kabupaten Katingan terkena dampak banjir tersebut. Banjir juga menggenangi rumah milik 2.613 keluarga di empat kecamatan di Kabupaten Kotawaringin Timur.
Hampir bersamaan waktunya, banjir juga melanda Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel), Kalimantan Barat (Kalbar), dan Kalimantan Timur (Kaltim). Pada Agustus dan awal September ini, misalnya, tiga kabupaten penghasil pertambangan batu bara dan bijih besi di provinsi Kalsel, yakni Kabupaten Tanah Laut, Tanah Bumbu, dan Kota Baru, dilanda banjir besar. Banjir di sana tidak hanya merendam rumah penduduk, tetapi menewaskan empat warga yang terjebak banjir berarus deras.
Selain kerusakan jalan trans- Kalimantan pada ruas Banjarmasin-Batulicin semakin parah, Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Kalsel melaporkan sedikitnya lebih dari 1.000 hektar tanaman padi puso. Kerusakan tanaman padi seluas itu akibat banjir sejak Januari hingga September terjadi enam kali. Dari 13 kota/kabupaten, sebanyak 11 kabupaten hampir setiap tahun dilanda beberapa kali banjir. Tak heran bila Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana memasukkan Kalsel pada 11 provinsi di Indonesia yang rawan bencana.
Banjir tidak hanya menggenangi dataran rendah atau pinggiran sungai. Di Balikpapan, Kaltim, yang memiliki sebagian wilayah berbukit-bukit, misalnya, juga dilanda banjir. Banjir besar yang terjadi saat bersamaan dengan Penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional (PON) di Kaltim pada Juli lalu, misalnya, disertai longsor sehingga menewaskan dua anak akibat tertimpa reruntuhan rumah.
Di Kalbar, banjir terparah justru terjadi bulan September yang melanda tiga kabupaten, yakni Kapuas Hulu, Sintang, dan Melawi. Banjir yang paling parah, berdasarkan laporan, terjadi di Kabupaten Melawi karena merendam 10.000 rumah yang dihuni sekitar 50.000 warga. Sebagian dari mereka terisolasi selama sepekan akibat kepungan banjir.
Banjir di Kalimantan ternyata tidak hanya terjadi dalam beberapa bulan terakhir. Berdasarkan catatan Kompas, selama sembilan bulan dalam tahun 2008 hampir setiap bulan terjadi banjir. Hanya bulan Februari dan Mei yang tidak ada laporan banjir.
Kondisi ini membuktikan bahwa banjir di Kalimantan bukan sekadar besaran curah hujan lagi sebab kalau itu masalahnya, dari dulu orang di sini telah mengantisipasi dengan mendirikan rumah panggung. Yang terjadi justru ini adalah buah dari kerusakan alam semakin parah. Kondisi ini setidaknya diakui Gubernur Kalsel Rudy Ariffin saat rapat mitigasi bencana beberapa waktu lalu di Banjarmasin, Kalsel.
Kondisi kerusakan lingkungan yang paling masif adalah terus berlangsungnya pembabatan hutan. Pada Januari-Februari di Kalbar, misalnya, digemparkan dengan penangkapan 34.500 batang kayu log ilegal di Sungai Kapuas. Kayu-kayu itu diklaim hasil tebangan sekitar 800 warga Kabupaten Kapuas Hulu. Tangkapan kayu itu merupakan yang terbesar sekaligus melibatkan pelaku terbanyak dalam sejarah penangkapan pembalakan liar di Kalbar.
”Kami terpaksa menebang kayu di sekitar Sungai Kapuas untuk bertahan hidup setelah hampir sebulan pada Desember 2007 desa kami tergenang banjir hingga 4 meter. Gara-gara terendam banjir, ladang kami gagal panen, menoreh getah karet tidak bisa, mencari ikan juga sulit,” kata Jor (30), warga Kecamatan Embaloh, Kabupaten Kapuas Hulu, yang ditemui beberapa waktu lalu.
Pembabatan hutan secara ilegal tidak hanya dilakukan warga di Kabupaten Ketapang, Kalbar, tetapi juga melibatkan pejabat dinas kehutanan dan kepolisian setempat. Jaringan perdagangan pun tidak hanya untuk kebutuhan lokal, tetapi juga untuk penyelundupan kayu ke Malaysia.
Tebang pohon
Menebang pohon untuk bertahan hidup pada saat banjir sudah menjadi mekanisme bertahan hidup turun-temurun masyarakat yang bermukim di daerah aliran Sungai Kapuas. Semakin tinggi dan lama banjir itu merendam permukiman dan ladang penduduk, hampir dipastikan semakin banyak pula kayu yang ditebang.
Memanfaatkan banjir untuk memilirkan kayu-kayu itu tidak hanya dilakukan rakyat, tetapi juga perusahaan pemegang hak pengusahaan hutan (HPH). Cara ini ditempuh hampir di semua daerah aliran sungai (DAS) Kalimantan dan berlangsung puluhan tahun karena biayanya paling murah. Cara inilah yang dikenal banjir kap.
Semakin banyak kayu di DAS Kapuas yang ditebang, ini berarti semakin besar pula potensi banjir dengan frekuensi dan intensitas yang lebih banyak. Bencana banjir di Kalbar yang beberapa kali berlangsung dalam dua tahun terakhir ini setidaknya membuktikan hipotesis itu.
Dr Ir Gusti Zakaria Anshari MES, Ketua Pusat Penelitian Kehati dan Masyarakat Lahan Basah (PPKMLB) Universitas Tanjung Pura, Pontianak, sekaligus Ketua Forum DAS Kapuas, menilai, DAS Kapuas cukup mengkhawatirkan karena sumber daya hutan yang menjadi sumber tangkapan air juga sudah rusak. Pasalnya, selain pembabatan hutan, sekarang sebagian konversi lahan di DAS Kapuas menjadi perkebunan juga tidak direncanakan dan dilakukan dengan baik. Kondisi ini semakin parah dengan adanya penambangan emas tanpa izin (peti) di Sungai Kapuas.
”Sungai Kapuas sudah mengarah ke kondisi genting. Perlu penanganan serius agar jangan telanjur parah dan akan semakin sulit untuk mengobatinya,” kata Gusti.
Panjang Sungai Kapuas, kata Kepala Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Kapuas Suhartadi, sekitar 1.086 kilometer dan memiliki DAS 10,15 juta hektar. Sekitar 2,2 juta dari DAS itu termasuk kritis dan bahkan 607.253 hektar di antaranya dalam kondisi sangat kritis. DAS Kapuas yang tergolong agak kritis mencapai 4,24 juta hektar dan yang berpotensi kritis 2,89 juta hektar. ”Deforestasi, penambangan liar, serta perubahan fungsi lahan turut memengaruhi kekritisan DAS Kapuas,” kata Suhartadi.
Data Dinas Kehutanan Kalbar menunjukkan, dari total kawasan hutan di Kalbar yang mencapai 9,1 juta hektar, sekitar 2,1 juta hektar di antaranya tergolong lahan kritis. Di luar kawasan hutan, ada sekitar 3 juta hektar lahan yang kritis. Pada pertengahan tahun lalu, Masyarakat Perhutanan Indonesia Komda Kalbar sempat merilis, laju kerusakan hutan di Kalbar hampir 165.000 hektar per tahun atau 23 kali luas lapangan sepak bola per jam.
Jumlah kasus pembalakan liar di Kalbar yang turut mempercepat laju kerusakan hutan tergolong memprihatinkan. Dinas Kehutanan Kalbar mencatat, terdapat 406 kasus pembalakan liar di Kalbar dalam kurun waktu 2005-2007. Selain itu, kegiatan penambangan emas ilegal di pinggir-pinggir sungai di Kalbar juga cukup memprihatinkan. Data Dinas Pertambangan Kalbar tahun 2005 mencatat ada 1.480 peti yang melibatkan sekitar 10.093 penambang.
Keberadaan peti itu juga banyak memakai bahan kimia merkuri yang berpotensi mencemari sungai. Kerusakan lingkungan ini terus bertambah karena rehabilitasi lahan di Kalbar melalui program Gerakan Rehabilitasi Lahan dalam kurun waktu 2004-2006 sendiri baru 40.090 hektar.
DAS Kritis
Kondisi DAS yang sebagian kritis juga ada di 26 sungai besar lainnya di Kalbar. Tercatat dari 27 sungai di Kalbar yang memiliki DAS 14,86 juta hektar, sekitar 1,34 juta hektar pada kondisi sangat kritis, 2,1 juta hektar dalam kondisi kritis, 6,14 juta hektar dalam kondisi agak kritis, dan 3,73 juta hektar dalam kondisi potensial kritis.
”Jika kondisi ini tidak segera ditangani oleh berbagai pihak, bencana banjir yang lebih luas bisa menjadi ancaman serius bagi wilayah Kalbar,” kata Suhartadi.
Ironis lagi, di tengah parahnya kerusakan hutan Kalbar, ternyata masih ada sedikitnya 62 izin perkebunan kelapa sawit di Kalbar yang diterbitkan di kawasan hutan seluas 430.810 hektar. Jika persoalan tumpang tindih izin ini tidak ditangani serius, bukan mustahil banjir yang terjadi semakin meluas akibat konversi hutan tersebut.
Fakta kerusakan DAS yang paling parah juga terjadi di Kalsel. Meski daerah ini hanya tinggal satu HPH yang beroperasi, kerusakan hutan terus berlangsung akibat pembukaan lahan untuk pertambangan batu bara dan bijih besi berlangsung besar-besaran sejak tahun 80-an. Tak heran bila kawasan Pegunungan Meratus yang menjadi daerah sumber aliran utama sungai-sungai di Kalsel dipenuhi lubang-lubang tambang yang menganga. Ironisnya, sebagian besar yang sudah tidak ditambang lagi ditinggalkan tanpa reklamasi.
Semestinya, kata Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Kalsel Rakhmadi Kurdi, DAS yang baik itu minimal 30 persen berupa hutan utuh pada satu wilayah kabupaten.
Akan tetapi, fakta di Kalsel, hutan gundul sangat luas, lubang bekas tambang yang tidak direklamasi juga terus bertambah. Dampaknya, erosi pun semakin besar, sungai-sungai akhirnya mendangkal dan bisa dipastikan ketika banjir air meluap ke mana-mana bahkan berarus deras. ”Untuk mengatasi ini, kuncinya tidak hanya menghentikan pembabatan kayu dan pengendalian pembukaan tambang, yang lebih penting bagaimana semua pihak serius mengembalikan daerah-daerah yang mengalami kerusakan tersebut, termasuk lahan kritis menjadi hijau kembali. Jika tidak, bencana banjir semakin menjadi-jadi,” katanya.
Budi, warga Katingan, Kalteng, menambahkan, pihaknya meminta kepada pemerintah lokal agar dalam melakukan reboisasi hutan yang gundul di pedalaman melibatkan masyarakat. ”Jangan mereka diam saja dan hanya bisa mendirikan pos kesehatan dan kasih sedikit bantuan saat banjir tiba,” ujarnya./kompas.
kayu olahan yang di tinggalkan oleh perambah hutan (Kalbar)Pembukaan jalan raya, di (kalbar)
Bekas penebangan hutan Manggrov di jadikan tambak (Kalbar)
Hutan manggrov di tebas akan di jadikan tambak (Kalbar)
Bekas tebangan yang di tinggal begitu saja (Kalbar)
Pencurian kayu oleh masyarakat sekita hutan (Kalbar)
Penebangan liar yang tidak bertanggung jawab (Kalbar)
koleksi foto heri rizha vahlevi.